Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengingatkan pemerintah mewaspadai tren laju inflasi dalam negeri yang akan dihadapi ke depan. Ia menilai perekonomian Indonesia saat ini masih ditopang konsumsi dalam negeri yang kuat sehingga diproyeksi terkendali. “Indonesia ekonominya cenderung tidak terlalu open. Sekitar 50 persen lebih ekonomi indonesia ditopang konsumsi dalam negeri. Jadi dampaknya (inflasi,red) harusnya tidak signifikan ya,” kata Faisal di Jakarta, Senin (1/8/2022).
Menurutnya, permintaan batu bara tetap kuat walau China terjadi perlambatan. “Itu karena permintaan Eropa naik di tengah penurunan impor energi dari Rusia,” kata pria yang akrab disapa Oce. Ia menuturkan data BPS bahwa laju inflasi domestik bulan lalu adalah 0,64 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).
Angka itu lebih tinggi dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 0,61 persen. Namun secara tahunan (year on year/yoy), laju inflasi ter akselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94 persen yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35 persen sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Faisal menuturkan ada tiga faktor yang mempengaruhi inflasi, yaitu harga bahan pokok, transportasi dan konsumsi rumah tangga seperti listrik dan bahan bakar. “Lebih lanjut kami masih memprediksikan inflasi akan terus naik secara substansi maupun mendasar pada semester ke 2 tahun 2022. Ini lebih disebabkan meningkatnya permintaan ( demand pull inflation) menyusul dari pelonggaran PPKM yang membuat masyarakat lebih leluasa bergerak dan kecepatan uang berputar,” kata Oce. Meski trend inflasi diperkirakan akan terus naik, namun pihaknya optimis inflasi akan berada pada 4,60 persen di akhir tahun, sedikit diatas kisaran Bank Indonesia yaitu 3 persen +1.
Oce berpendapatan kondisi perekonomian Indonesia masih akan baik apalati jika dibandingkan dengan awal pandemi. “Saya rasa tidak akan separah ketika pandemi covid 19. Karena walau melemah namun perbaikan demand tetap ada,” tutur Oce. Sementara itu, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengungkapkan stok komoditas Indonesia memang dalam kondisi aman.
Sektor agrikultur Indonesia mencatatkan kinerja cukup baik dengan kelimpahan suplai. "Karena selama pemulihan covid 19 dari sisi input produksi negara negara besar tidak hanya Jepang itu mengalami kelangkaan. Sementara di Indonesia kita over supply," ujarnya. Padahal, mereka membutuhkan pasokan komoditas untuk pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi. Hal itu kemudian memunculkan wacana untuk ekspor dari Indonesia ke negara lain.
"Jadi sektor pertanian kita over supply, kemudian pupuk kita juga over supply. Bahkan ada keinginan untuk ekspor ke Afrika dan juga ke Amerika Latin," tambahnya. Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia itu menyarankan pemerintah tidak terlena dengan suplai melimpah dalam negeri. Menurutnya, pemerintah harus mewaspadai permintaan komoditas dalam negeri yang juga menunjukkan kenaikan.
"Cuma memang kalau dari sisi ekspor saja, kita juga harus hati hati. Jangan sampai ini terlalu agresif kita lakukan. Nanti ketika kita butuhkan justru langka. Kita sekarang dari sisi demand sedang bertumbuh nanti jangan sampai demand optimal kita langka suplai input nya," tegasnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan eksternal yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional. Kata dia, pemerintah optimistis dapat melewati ketidakpastian akibat perang Rusia Ukraina dan juga perlambatan ekonomi negara maju yaitu Amerika Serikat dan China.
"AS, China, Eropa adalah negara negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi, kalau mereka melemah, permintaan ekspor turun dan harga komoditas turun," kata Sri Mulyani. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia Januari–Juni 2022 mencapai 141,07 miliar dolar AS atau naik 37,11 persen dibanding periode yang sama tahun 2021. Sementara ekspor nonmigas mencapai 133,31 miliar dolar AS atau naik 37,33 persen.